Renyep
Proborini
Hal yang lazim bila orang tua memiliki berbagai harapan
terhadap anaknya. Harapan ini berkaitan dengan kondisi fisik, kecerdasan,
prestasi sekolah dan berbagai hal. Misalnya, orang tua ingin anaknya pintar, juara,
cantik/cakep, semangat, sehat. Untuk mewujudkan harapannya, orang tua akan
melakukan berbagai usaha. Orang tua yang menginginkan anaknya cantik/cakep akan
berusaha mendandani anak dengan baju dan berbagai asesoris.
Keinginan ini kemudian dapat berkembang menjadi kebutuhan untuk memperlihatkan kecantikan anak pada orang luas, dengan memasukkan anak-anak ke sekolah modeling dan rajin mengikut sertakan anak dalam berbagai ajang lomba modeling. Lain lagi apabila orang tua menginginkan anak berprestasi secara akademik.
Upaya yang dilakukan mulai dari menyuruh anak belajar, memasukkan anak ke berbagai les, mendaftarkan anak untuk lomba, dan menyemangati anak. Masih banyak lagi berbagai bidang yang menjadi harapan orang tua untuk mengembangkan anaknya. Berkaitan dengan masalah pengembangan ini maka isu motivasi menjadi hal yang paling penting. Orang tua berharap agar anak dapat memiliki motivasi sendiri sehingga tidak terlalu repot untuk mensuport. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika harapan orang tua diwujudkan melalui berbagai upaya untuk memotivasi maka apakah upaya tersebut menjadi produktif atau justru kontra produktif. Berbagai kasus justru menunjukkan bahwa anak bukan semakin termotivasi namun semakin bertambah stress ketika menghadapi upaya orang tua untuk memotivasi yang berubah menjadi “tekanan &beban” dari orang tua. Berikut ini beberapa kondisi yang perlu dicermati untuk membedakan antara memotivasi dan membebani anak.
Keinginan ini kemudian dapat berkembang menjadi kebutuhan untuk memperlihatkan kecantikan anak pada orang luas, dengan memasukkan anak-anak ke sekolah modeling dan rajin mengikut sertakan anak dalam berbagai ajang lomba modeling. Lain lagi apabila orang tua menginginkan anak berprestasi secara akademik.
Upaya yang dilakukan mulai dari menyuruh anak belajar, memasukkan anak ke berbagai les, mendaftarkan anak untuk lomba, dan menyemangati anak. Masih banyak lagi berbagai bidang yang menjadi harapan orang tua untuk mengembangkan anaknya. Berkaitan dengan masalah pengembangan ini maka isu motivasi menjadi hal yang paling penting. Orang tua berharap agar anak dapat memiliki motivasi sendiri sehingga tidak terlalu repot untuk mensuport. Yang menjadi pertanyaan adalah ketika harapan orang tua diwujudkan melalui berbagai upaya untuk memotivasi maka apakah upaya tersebut menjadi produktif atau justru kontra produktif. Berbagai kasus justru menunjukkan bahwa anak bukan semakin termotivasi namun semakin bertambah stress ketika menghadapi upaya orang tua untuk memotivasi yang berubah menjadi “tekanan &beban” dari orang tua. Berikut ini beberapa kondisi yang perlu dicermati untuk membedakan antara memotivasi dan membebani anak.
- · Pujian
Memuji adalah cara efektif untuk menunjukkan pada
anak tentang perilaku yang dikehendaki. Kata-kata seperti “wah, hebat! pinter !
rajinnya anakku! Atau sekedar acungan jempol merupakan contoh pujian yang dapat
diterapkan. Pujian dapat diberikan bila anak belum memiliki motivasi yang stabil,
namun bila terlihat anak mulai dapat melakukan sendiri maka pujian dapat
dikurangi sedikit demi sedikit, hingga akhirnya pujian sebagai rasa persetujuan
tersebut dapat diwujudkan dalam perilaku kita secara keseluruhan yang
memberikan penghargaan terhadap anak. Ada pula orang tua yang maksudnya memuji
anak dengan menyatakan “naah, gitu dong! Itu baru anak mama!” Di balik pujian
ini sebenarnya ada makna yang tersirat bahwa orang tua menetapkan target
tertentu pada anaknya. Jika target itu tidak tercapai maka “bukan anak mama”.
Artinya, orang tua secara halus menolak anak jika anak tidak mencapai standard tertentu. Di bawah
sadarnya anak akan merasa bersalah karena tidak mencapai standard tersebut.
Perasaan bersalah ini dapat melemahkan harga diri anak
·
Membandingkan
Untuk memotivasi anak, banyak orang tua yang
memberikan contoh anak-anak lain yang telah mampu berprestasi. Bahan pembanding
itu bisa jadi saudara sekandung si anak, anak tetangga, anak teman/saudara,
atau orang tua ketika masih kecil dulu. Kalimat yang diucapkan misalnya,”waktu
kecil dulu, papa sudah bisa melakukannya” lihat si itu, dia bisa, kenapa kamu
ga bisa ?! Badan kamu kan lebih gede dari si itu, dia yang lebih kecil bisa,
kenapa kamu ga bisa? Contoh itu kakakmu, rajin, ga usah disuruh-suruh sudah
mengerjakan” kamu ni malas amat sih, ga seperti kakakmu!.” Upaya membandingkan
berarti menempatkan anak pada kutub yang berbeda dari tokoh bandingan. Orang
tua cenderung membandingkan ketika anaknya tidak mampu, berarti anak di
tempatkan dalam posisi tidak mampu sedangkan tokoh pembanding berada pada kutub
yang berlawanan yaitu mampu melakukan. Apabila anak memiliki potensi yang sama
atau tidak terlalu jauh dengan tokoh bandingan maka anak cukup mampu untuk
mengejarnya. Anak hanya perlu berusaha sedikit agar sama dengan tokoh
bandingan. Masalah timbul apabila potensi anak berada jauh di bawah tokoh
bandingan. Anak sulit untuk menyamainya sehingga anak menjadi setengah
frustrasi.
Dampak lain adalah anak merasa sudah ditempatkan
pada posisi miring sehingga menimbulkan antipati. Anak menjadi marah kepada
orang tua dan juga kepada tokoh bandingan. Persaingan antara saudara kandung
“sibling rivalry” yang tidak sehat seringkali dipicu oleh sikap orang tua yang
membanding-bandingkan anaknya.
Membandingkan juga akan menggiring anak untuk
mengorientasikan diri agar berperilaku
seperti anak lain. Anak merasa tertuntut
untuk seperti orang lain. Kenapa? Karena orang lain lebih baik dan si anak
kurang/tidak baik. Anak merasa tidak bangga dengan dirinya, padahal untuk
mengembangkan kepercayaan diri anak maka
perasaan istimewa perlu dimiliki oleh anak. Pembandingan hanya akan memunculkan
perasaan tidak berharga dan tertekan pada anak. Orang tua akan lebih bijak bila
membanding anak dengan diri anak sendiri, yaitu ketika anak mampu melakukan
tetapi kurang konsisten. Misalnya, “kemarin kamu kan bisa, mama yakin
sekarangpun kamu juga pasti bisa”
·
Menetapkan target
Target secara eksplisit dinyatakan oleh orang tua
kepada anak, misalnya, “nanti kamu jadi juara ya”, “kenapa nilaimu hanya 70,
kenapa tidak 80 atau 100?”. Penetapan target semacam ini cukup aman apabila
kemampuan anak mendekati target karena anak dapat melakukan upaya sewajarnya
untuk mencapainya. Namun bila target tersebut terlampau jauh bagi anak maka
kegamangan lah yang pada akhirnya dirasakan oleh anak. Jadi, orang tua perlu
cermat dalam menilai kemampuan anak, termasuk masalah emosinya, sehingga dapat
menetapkan target yang realistis bagi anak. Masalah emosi ini misalnya apakah
anak gigih atau mudah menyerah, sensitive atau sewajarnya, dsb. Bisa jadi anak
cukup mampu untuk melakukan satu aktivitas, tetapi karena anak mudah berputus
asa maka target tidak dapat dicapai. Untuk hal semacam ini maka orang tua perlu
menetapkan target yang memang mampu dicapai oleh anak
·
Les
Seiring dengan kebutuhan orang tua untuk
mengembangkan anaknya maka semakin marak pula jasa untuk mengembangkan anak di
berbagai bidang. Jenis-jenis les atau pembelajaran tambahan, misalnya pelajaran, music, menari/dance, melukis, olah
raga, robotic, presenter, dsb. Orang tua rela menyisihkan banyak dana untuk
mengikut sertakan anaknya dalam berbagai les. Les yang seharusnya hanya tambahan
untuk melengkapi pelajaran di sekolah, berubah menjadi utama karena jumlah
waktu yang cukup panjang. Banyak anak remaja yang berangkat pagi pulang malam
setiap hari karena sepulang sekolah ia langsung les. Pada kasus di tingkat
prasekolah di kota besar, cukup banyak anak TK yang les hampir setiap hari. Sebagian orang tua menyatakan bahwa mereka
tidak mau bila anaknya hanya bermain saja. Orang tua mau agar anaknya belajar.
Dan persepsi tentang belajar ini yang kemudian secara keliru dipahami oleh
banyak orang tua sebagai aktivitas baca-tulis-hitung saja dan sebagian lain
menambahkan aktivitas seni dapat ditekuni sebagai belajar. Padahal bila
mengikuti perkembangan psikologis anak, maka kebutuhan anak prasekolah adalah
untuk mengembangkan motorik dan sensorinya melalui kegiatan bermaian. Aktivitas
motorik ini pada akhirnya akan mengembangkan kemampuan kognitif.
Sekolah dan les adalah kegiatan terstruktur di
mana sudah ada materi, waktu dan tempat yang telah ditetapkan. Aktivitasnya
sudah dirancang dan anak adalah pelaksananya dalam program tersebut. Dengan
program yang terstruktur ini maka anak akan mengenal aturan dan target sehingga
sikap dan perilaku anak akan lebih teratur dan termotivasi untuk mencapai
target. Namun yang perlu diperhatikan adalah anak juga memerlukan kegiatan yang
tidak terstruktur di mana anak bisa bebas berekspesi. Bermain, merupakan
aktivitas yang dibutuhkan anak yang memungkinkan anak untuk mencurahkan idenya,
memungkinkan anak mengembangkan kemampuan social, motorik dan emosinya. Usia
bermain adalah usia 2-5 tahun artinya pada usia ini anak butuh bermain.
Kebutuhan ini secara berangsur akan semakin berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Bila di usia balita anak tidak cukup bermain bisa jadi
kebutuhan ini coba dipenuhi di fase perkembangan berikutnya. Sudah remaja dan
bahkan dewasa masih suka bermain dan sulit serius. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bermain menjadi penting untuk mengembangkan potensi anak,
termasuk kecerdasan. Terlalu banyak les justru akan mengekang potensi anak
karena anak hanya menjadi pelaku, cenderung pasif dan kurang kreatif. Di sisi
lain, anak juga merasa tertekan karena pola kegiatannya yang sudah ditetapkan.
Berkaitan dengan les tambahan, paradigma berpikir
orang tua dan juga masyarakat yang sepertinya perlu ditinjau kembali. Les,
hendaknya memang menjadi tambahan, bukan menu utama
Setiap kita yang sudah berstatus sebagai orang tua
atau mereka yang berkecimpung di bidang pendidikan, perlu mencermati diri
sendiri, apakah sudah tepat cara untuk memotivasi anak. Jika tidak tepat
caranya, maksudnya memotivasi malah justru menciutkan mental anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar